“Putri, kak Rehan mau ngomong sesuatu sama kamu” kak Rehan mengawali pembicaraannya malam itu “Iya kak, ngomong aja” jawabku singkat “Kakak pengen jujur sama Putri” diam sejenak kemudian kak Rehan melanjutkan kata-katanya “Setelah sekian hari dan berbagai cara, ternyata kakak lebih cocok memposisikan kamu sebagai adek, kakak coba untuk lebih, tapi nggak bisa, kakak sulit untuk menerima orang lain selagi orang yang pernah singgah di hati kakak masih ada. Kakak minta maaf kalau ada yang salah dengan kata-kata itu, kakak cuma pengen jujur aja. Hari-hari kemarin bukan berarti kakak mempermainkan Putri, tapi kakak memang pengen dekat sama Putri. Namun itu hanya bertahan sesaat” Ku cerna kata demi kata dengan seksama dan aku mulai mengerti “Kak Ita?” hanya nama itu yang ku ingat, seorang mantan yang selalu kak Rehan ceritakan padaku “Iya, kakak jujur dari apa yang kakak rasakan, tapi jujur, kakak juga nggak ingin kehilangan Putri, Putri udah ngajarin kakak banyak hal, membalasnya pun rasanya tak sanggup, jangan merasa jauh dari kakak” Sepertinya dia hanya berusaha menenangkan hatiku. Namun hati ini sudah mulai berkecamuk, antara sedih, marah dan kecewa, mataku mulai berkaca-kaca, dan aku memilih pergi meninggalkannya. Dia memutuskan untuk tak menahan kepergianku.
Luka dan Penyesalan
Kejujuran yang begitu menyakitkan, hati ini terluka, aku sakit karena kak Rehan, aku benci dia, aku benci kak Rehan, meski dia mengaku salah karena terlalu jujur padaku, aku sakit karena aku sudah terlanjur berharap, aku sakit karena kakak pernah membawaku terbang ke awan, lalu hari ini ia menjatuhkanku ke jurang yang terdalam, hati ini benar-benar sakit “Terbang tinggi resiko jatuh lebih sakit, jadi segala kemungkinan harus disiapkan” terngiang aku dengan kata-kata itu dan hari ini itulah yang terjadi.
Aku hanya bertahan beberapa hari dengan kemarahanku, tekad bulatku untuk melupakannya, tak pernah bisa ku realisasikan, hubungan kita kembali membaik, meski dia hanya menganggapku sebatas ‘Adek’. Kak Rehan benar, aku takkan pernah bisa jauh darinya.
Januari 2012
Hari ini kak Rehan menemaniku membeli printer yang telah lama aku impikan. Hujan lebat sore ini memberiku kesempatan untuk bisa lebih lama bercengkrama dengannya.
Selain menyuruhku untuk menetralisir perasaan-perasaan aneh ini, lagi-lagi ia bercerita tentang sang mantan dan aku harus menjadi pendengar setianya “Meski kita berdua masih sama-sama saling mencintai, tapi tak mungkin kita bersama lagi, karena dia sudah jadi milik orang lain, lagi pula dari segi umur dia terpaut beberapa bulan lebih tua dariku, karena itu kakak selalu berusaha berfikir lebih dewasa, orientasi kakak saat ini adalah mengejar impian kakak untuk jadi pengusaha sukses”. Cita-cita yang brilliant, inilah kata-kata yang sudah lama tak ku dengar ‘jadi pengusaha sukses’. “Amin, do’aku menyertaimu” cletukku, dia pun tersenyum simpul.
Hari sudah semakin senja, hujan tak kunjung reda, ritual sholat Ashar belum terlaksana, akhirnya kita memutuskan untuk menyatu dengan air hujan.
Februari 2012
Malam ini sakit gigi menyerangku, sakit yang belum pernah ku rasakan seumur hidupku. Ku tak tahu siapa yang bisa mendengarkan jeritanku malam ini, di malam yang sunyi ini, aku sendiri, mengerang kesakitan, mereka sudah terlelap dalam mimpi-mimpinya, kak Rehan, ya.. hanya nama itu yang ku ingat, semoga kak Rehan bisa membantuku, ku sadar dia takkan bisa melakukan apa-apa untuk menyembuhkan sakit gigi ini, tapi paling tidak, ia bisa membantu menenangkanku. Ku mulai mengumpulkan kekuatan untuk menekan tuts-tuts di ponsel bututku ini, mulai merengek manja, mengeluhkan sakit yang sedari tadi menyiksaku, tapi balasannya “Adek, boleh kakak bertanya dulu?” “He’em” jawabku singkat “Adek udah tahu hubungan kak Rehan sama mantan?” “Tahu, kak Rehan udah balikan kan sama kak Ita” jawabku asal “Ya benar kita berdua udah balikan” Bak petir menyambar di tengah awan yang cerah, rasanya malam ini aku tak bisa lagi membedakan derasnya air mata ini karena aku yang sedang sakit gigi ataukah karena remuknya hati ini.
“Emm, emang kalau kalian udah balikan, adek nggak bisa minta perhatian kakak lagi donk?” dengan innocentnya ku bertanya seperti itu “Ya, nggak papa sih, cuma semua ada batasnya” jawabnya “Kalau pacar ada mantan, kalau saudara untuk selamanya” lanjutnya. Ingin rasanya ku bertanya sejak kapan balikan? Gimana ceritanya? Tumben kakak nggak cerita? tapi aku sudah tak sanggup menahan semua ini, untung saja hanya lewat pesan singkat, jadi kak Rehan tak perlu tahu bagaimana ekspresi kekecewaanku padanya “Selamat ya kak, moga kakak bahagia” dengan nada sok rela ku memberi selamat atas kebahagiaan mereka, dan ia hanya membalas kepura-puraanku itu dengan “Makasih atas pengertian Adek”, ku memilih untuk mengakhiri acara Es-Em-Es-anku malam ini. Andai kak Rehan tahu aku pengertian semata-mata karena aku sayang sama kakak.
Semalaman mata ini tak bisa terpejam, sakit gigi ini sudah tak lagi terasa, karena sakit ini sudah pindah ke dasar hatiku yang terdalam.
Hati ini mulai memberontak. “Mereka Balikan” lalu apa arti beberapa bulan kemarin, ia memberiku sejuta harapan seolah-olah rasa sayang itu mulai ada untukku? Apa arti semua perhatian kak Rehan padaku selama ini? “Jangan pernah merasa bahwa kak Rehan nggak sayang sama Putri, kak Rehan sayang sama Putri” apa arti dari kata-kata itu? apa maksud dari panggilan ‘sayang’ itu, kalau pada kenyataannya ia tak pernah bisa menyayangiku? Sejuta pertanyaan berlarian di benakku. “Pelarian, Pelampiasan” mungkin hanya itu jawaban yang paling tepat bagiku saat ini, selama ini ia hanya mempermainkanku, aku hanyalah pelarian sesaatnya, saat ia sudah berada di puncak patah hatinya, mendengar sang mantan sudah menjadi milik orang lain, dia melampiaskan semuanya padaku, namun saat semua rencana itu tiba-tiba dibatalkan, mereka langsung balikan begitu saja tanpa peduli sedikitpun perasaanku, tanpa peduli sakit hatiku. Dan masih sempat ia berdalih “Putri, Kak Rehan nggak bermaksud mempermainkan perasaan kamu, kak Rehan hanya berusaha jujur sama perasaan kakak”, ia bahkan tak pernah sadar bahwa ia telah menyakiti perasaanku, menghancurkan hidupku.
Aku takkan seperih ini jika pelukan itu tak pernah menghangatkanku, aku takkkan sekecewa ini jika ia tak pernah membawaku terbang ke atas awan. Kenapa kak Rehan harus memberiku harapan dulu, baru kemudian meninggalkanku begitu saja? Penyesalan, ya… penyesalan yang hanya bisa ku ungkap lewat air mata. Luka ini tertoleh terlalu dalam dan tak mudah menyembuhkannya.
Kak Rehan, sosok yang dulu membuatku hidup dengan penuh motivasi, kini tak ada lagi, aku rindu kak Rehan yang dulu. Aku benci kak Rehan yang sekarang, seorang yang telah menorehkan luka terdalam di hatiku, bahkan kini ia telah membuatku membenci sosok orang yang sama sekali belum aku kenal. Aku benci kak Rehan. Bahkan hingga detik ini aku masih belum bisa memaafkannya. Hati ini terlalu sakit. I hate You, Rehan.
“Berdo’a aja, kakak akan selalu meng-AMIN-i do’a adek”, itu kata-kata yang pernah kak Rehan ucapkan dulu. “Semoga aku bisa melupakan kak Rehan” hanya itu do’aku saat ini.
Maret 2012
Untuk pertama kalinya aku merasakan getaran di hati ini saat bertemu dengannya, getaran yang selama ini ku percaya bahwa itu adalah tanda rasa sayang itu ada. “Getaran cinta di hatiku”, kenapa ia baru muncul saat kak Rehan sudah pergi meninggalkanku dan tak mungkin kembali? Saat kak Rehan sudah bahagia dengan orang yang ia sayangi?
Betapa bodohnya aku ini, kenapa rasa sayang ini masih bersarang di hatiku, padahal rasanya sakit ini sudah mendarah daging, dimana harga diriku sebagai perempuan? Kenapa aku serasa tak mengenali diriku sendiri saat ini?
Malam ini sungguh tragis, kenapa aku harus melihat mereka berdua? Kenapa ia harus tersenyum innocent padaku saat kita bertemu? air mata ini seakan tak peduli dimana aku berada, sepanjang jalan, air bening ini tak henti membanjiri pipiku. Air mata ini bukan karena senyuman tanpa dosa itu, bukan karena cemburu atas kebersamaan mereka, tapi air mata ini karena rasa kecewaku pada kak Rehan, dulu ia tak pernah punya waktu untukku, bahkan untuk sekedar 5 menit bertemu, dulu hanya satu kata “SIBUK” yang selalu ia persembahkan untukku, sibuk dikejar deadline tugas kantor yang selalu menumpuk, namun saat ini semua seakan sudah tak berlaku, waktunya selalu ada buat orang yang ia sayangi.
Dan saat ini aku tersadar, baik dulu, saat ini, maupun hari-hari berikutnya aku bukanlah siapa-siapa baginya, aku tak pernah berarti baginya, bahkan status ‘Adek’ pun, rasanya sudah tak ada gunanya lagi.
Hingga detik ini, aku tak mampu bangkit dari keterpurukanku, hidupku hampa. Cinta, Luka, Penyesalan, semua itu selalu menghantuiku. Tugas kuliahku terbengkalai, aku sama sekali tak punya semangat untuk mengerjakan tugas akhir yang sebenarnya menjadi impian terbesarku, yang menjadi harapan kedua orangtuaku dan orang-orang yang mengharapkan kesuksesanku disana. Teman-temanku pun sudah berulang kali menegurku, tak henti-hentinya mereka memotivasiku untuk bangkit, bahkan kak Rehan sendiri sangat menyayangkan sikapku ini. Beberapa buku motivasi sudah ku baca, aku sudah berusaha untuk bangkit, tapi semuanya tetap terasa berat. Aku belum mampu untuk bangkit. Aku telah hancur. Benar-benar hancur.
April 2012
Entah angin apa yang menggerakkan kakiku ke tempat ini, tempat yang bagiku penuh kenangan, tempat dimana kak Rehan pertama kalinya melantunkan ayat-ayat suci itu di sampingku, tempat aku merayakan Ultah kak Rehan beberapa bulan lalu. Entahlah aku hanya ingin mengenang masa-masa indah itu. “Kak kalau ada waktu nyusul ya” iseng aja ku layangkan pesan singkat itu “Hari ini kakak sibuk dek, maaf ya…” huft… Seharian ku habiskan waktuku di tempat ini, di tempat duduk yang sama beberapa bulan lalu, kini kenangan manis itu tergambar jelas di benakku, masih sempat-sempatnya aku berharap ia akan datang menyusulku kesini, padahal ku tahu hal itu takkan pernah terjadi. Tak terasa air mata ini mulai membasahi pipiku.
Matahari mulai enggan menampakkan dirinya, langit tiba-tiba berubah menjadi gelap, awan hitam pun bermunculan seakan sudah siap mengguyur bumi, suara petir mulai menderu dari segala penjuru. Aku lelah, aku menyerah, kak Rehan takkan pernah datang menemuiku, semua itu hanya akan menjadi mimpi, aku meninggalkan tempat ini dengan membawa sejuta kenangan indah, juga sejuta kekecewaan, aku berjalan tanpa arah, tubuhku lunglai, pandanganku mulai kabur dan “Bruak…” semuanya gelap.
—
“Aku dimana?” mataku terbuka, ruangan serba putih, ku dengar semua orang mengucap syukur saat ku buka mata ini. “Kamu sudah bangun sayang” Suara lembut Bunda menyapa, matanya tampak sembab, “Aku dimana? Kenapa kalian semua ada disini” tanyaku “Kamu di rumah sakit sayang, tiga hari yang lalu kamu kecelakaan, dan mengalami koma” jawab Bunda sesenggukan.
48 jam lebih aku koma, dan ini pertama kalinya aku membuka mata, keluarga, sahabat, mereka semua ada disini untuk menungguku terbangun. Sungguh terharu, tapi aku tak melihatnya, kak Rehan, ia dimana? kenapa ia tak ada disini? Hati ini terus memanggilnya, walau mulut ini sudah tak sanggup untuk menyuarakan namanya.
“Ayah, Bunda, maafin Putri, selama ini Putri nggak bisa membuat kalian bangga” Ku genggam erat tangan mereka. “Sayang, kamu nggak usah mikir macam-macam dulu, yang terpenting sekarang adalah Putri harus sembuh” tangis Bundaku semakin menjadi. “Putri pengen tidur panjang Bunda”, itulah kata-kata terakhir yang sempat ku ucapkan, sebelum ayah menuntunku untuk melantunkan dua kalimat syahadat. Bahkan di detik-detik terakhir hidupku, kak Rehan tak pernah datang menemuiku.
“Putri, bangun sayang” teriak Bundaku, “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un” Banjir air matapun seketika menggenangi ruangan putih itu.
Tak ada do’a yang terindah yang ku lantunkan kecuali kebahagiaan mereka, orang-orang yang ku sayangi. Ku harap tak akan ada lagi perempuan bodoh seperti aku di dunia ini.The End
Cerpen Karangan: Khoiriyatul Mukarromah
Facebook: Putri Huanzhu
Alumni IAIN SUNAN AMPEL tahun 2012
Aku hanya bertahan beberapa hari dengan kemarahanku, tekad bulatku untuk melupakannya, tak pernah bisa ku realisasikan, hubungan kita kembali membaik, meski dia hanya menganggapku sebatas ‘Adek’. Kak Rehan benar, aku takkan pernah bisa jauh darinya.
Januari 2012
Hari ini kak Rehan menemaniku membeli printer yang telah lama aku impikan. Hujan lebat sore ini memberiku kesempatan untuk bisa lebih lama bercengkrama dengannya.
Selain menyuruhku untuk menetralisir perasaan-perasaan aneh ini, lagi-lagi ia bercerita tentang sang mantan dan aku harus menjadi pendengar setianya “Meski kita berdua masih sama-sama saling mencintai, tapi tak mungkin kita bersama lagi, karena dia sudah jadi milik orang lain, lagi pula dari segi umur dia terpaut beberapa bulan lebih tua dariku, karena itu kakak selalu berusaha berfikir lebih dewasa, orientasi kakak saat ini adalah mengejar impian kakak untuk jadi pengusaha sukses”. Cita-cita yang brilliant, inilah kata-kata yang sudah lama tak ku dengar ‘jadi pengusaha sukses’. “Amin, do’aku menyertaimu” cletukku, dia pun tersenyum simpul.
Hari sudah semakin senja, hujan tak kunjung reda, ritual sholat Ashar belum terlaksana, akhirnya kita memutuskan untuk menyatu dengan air hujan.
Februari 2012
Malam ini sakit gigi menyerangku, sakit yang belum pernah ku rasakan seumur hidupku. Ku tak tahu siapa yang bisa mendengarkan jeritanku malam ini, di malam yang sunyi ini, aku sendiri, mengerang kesakitan, mereka sudah terlelap dalam mimpi-mimpinya, kak Rehan, ya.. hanya nama itu yang ku ingat, semoga kak Rehan bisa membantuku, ku sadar dia takkan bisa melakukan apa-apa untuk menyembuhkan sakit gigi ini, tapi paling tidak, ia bisa membantu menenangkanku. Ku mulai mengumpulkan kekuatan untuk menekan tuts-tuts di ponsel bututku ini, mulai merengek manja, mengeluhkan sakit yang sedari tadi menyiksaku, tapi balasannya “Adek, boleh kakak bertanya dulu?” “He’em” jawabku singkat “Adek udah tahu hubungan kak Rehan sama mantan?” “Tahu, kak Rehan udah balikan kan sama kak Ita” jawabku asal “Ya benar kita berdua udah balikan” Bak petir menyambar di tengah awan yang cerah, rasanya malam ini aku tak bisa lagi membedakan derasnya air mata ini karena aku yang sedang sakit gigi ataukah karena remuknya hati ini.
“Emm, emang kalau kalian udah balikan, adek nggak bisa minta perhatian kakak lagi donk?” dengan innocentnya ku bertanya seperti itu “Ya, nggak papa sih, cuma semua ada batasnya” jawabnya “Kalau pacar ada mantan, kalau saudara untuk selamanya” lanjutnya. Ingin rasanya ku bertanya sejak kapan balikan? Gimana ceritanya? Tumben kakak nggak cerita? tapi aku sudah tak sanggup menahan semua ini, untung saja hanya lewat pesan singkat, jadi kak Rehan tak perlu tahu bagaimana ekspresi kekecewaanku padanya “Selamat ya kak, moga kakak bahagia” dengan nada sok rela ku memberi selamat atas kebahagiaan mereka, dan ia hanya membalas kepura-puraanku itu dengan “Makasih atas pengertian Adek”, ku memilih untuk mengakhiri acara Es-Em-Es-anku malam ini. Andai kak Rehan tahu aku pengertian semata-mata karena aku sayang sama kakak.
Semalaman mata ini tak bisa terpejam, sakit gigi ini sudah tak lagi terasa, karena sakit ini sudah pindah ke dasar hatiku yang terdalam.
Hati ini mulai memberontak. “Mereka Balikan” lalu apa arti beberapa bulan kemarin, ia memberiku sejuta harapan seolah-olah rasa sayang itu mulai ada untukku? Apa arti semua perhatian kak Rehan padaku selama ini? “Jangan pernah merasa bahwa kak Rehan nggak sayang sama Putri, kak Rehan sayang sama Putri” apa arti dari kata-kata itu? apa maksud dari panggilan ‘sayang’ itu, kalau pada kenyataannya ia tak pernah bisa menyayangiku? Sejuta pertanyaan berlarian di benakku. “Pelarian, Pelampiasan” mungkin hanya itu jawaban yang paling tepat bagiku saat ini, selama ini ia hanya mempermainkanku, aku hanyalah pelarian sesaatnya, saat ia sudah berada di puncak patah hatinya, mendengar sang mantan sudah menjadi milik orang lain, dia melampiaskan semuanya padaku, namun saat semua rencana itu tiba-tiba dibatalkan, mereka langsung balikan begitu saja tanpa peduli sedikitpun perasaanku, tanpa peduli sakit hatiku. Dan masih sempat ia berdalih “Putri, Kak Rehan nggak bermaksud mempermainkan perasaan kamu, kak Rehan hanya berusaha jujur sama perasaan kakak”, ia bahkan tak pernah sadar bahwa ia telah menyakiti perasaanku, menghancurkan hidupku.
Aku takkan seperih ini jika pelukan itu tak pernah menghangatkanku, aku takkkan sekecewa ini jika ia tak pernah membawaku terbang ke atas awan. Kenapa kak Rehan harus memberiku harapan dulu, baru kemudian meninggalkanku begitu saja? Penyesalan, ya… penyesalan yang hanya bisa ku ungkap lewat air mata. Luka ini tertoleh terlalu dalam dan tak mudah menyembuhkannya.
Kak Rehan, sosok yang dulu membuatku hidup dengan penuh motivasi, kini tak ada lagi, aku rindu kak Rehan yang dulu. Aku benci kak Rehan yang sekarang, seorang yang telah menorehkan luka terdalam di hatiku, bahkan kini ia telah membuatku membenci sosok orang yang sama sekali belum aku kenal. Aku benci kak Rehan. Bahkan hingga detik ini aku masih belum bisa memaafkannya. Hati ini terlalu sakit. I hate You, Rehan.
“Berdo’a aja, kakak akan selalu meng-AMIN-i do’a adek”, itu kata-kata yang pernah kak Rehan ucapkan dulu. “Semoga aku bisa melupakan kak Rehan” hanya itu do’aku saat ini.
Maret 2012
Untuk pertama kalinya aku merasakan getaran di hati ini saat bertemu dengannya, getaran yang selama ini ku percaya bahwa itu adalah tanda rasa sayang itu ada. “Getaran cinta di hatiku”, kenapa ia baru muncul saat kak Rehan sudah pergi meninggalkanku dan tak mungkin kembali? Saat kak Rehan sudah bahagia dengan orang yang ia sayangi?
Betapa bodohnya aku ini, kenapa rasa sayang ini masih bersarang di hatiku, padahal rasanya sakit ini sudah mendarah daging, dimana harga diriku sebagai perempuan? Kenapa aku serasa tak mengenali diriku sendiri saat ini?
Malam ini sungguh tragis, kenapa aku harus melihat mereka berdua? Kenapa ia harus tersenyum innocent padaku saat kita bertemu? air mata ini seakan tak peduli dimana aku berada, sepanjang jalan, air bening ini tak henti membanjiri pipiku. Air mata ini bukan karena senyuman tanpa dosa itu, bukan karena cemburu atas kebersamaan mereka, tapi air mata ini karena rasa kecewaku pada kak Rehan, dulu ia tak pernah punya waktu untukku, bahkan untuk sekedar 5 menit bertemu, dulu hanya satu kata “SIBUK” yang selalu ia persembahkan untukku, sibuk dikejar deadline tugas kantor yang selalu menumpuk, namun saat ini semua seakan sudah tak berlaku, waktunya selalu ada buat orang yang ia sayangi.
Dan saat ini aku tersadar, baik dulu, saat ini, maupun hari-hari berikutnya aku bukanlah siapa-siapa baginya, aku tak pernah berarti baginya, bahkan status ‘Adek’ pun, rasanya sudah tak ada gunanya lagi.
Hingga detik ini, aku tak mampu bangkit dari keterpurukanku, hidupku hampa. Cinta, Luka, Penyesalan, semua itu selalu menghantuiku. Tugas kuliahku terbengkalai, aku sama sekali tak punya semangat untuk mengerjakan tugas akhir yang sebenarnya menjadi impian terbesarku, yang menjadi harapan kedua orangtuaku dan orang-orang yang mengharapkan kesuksesanku disana. Teman-temanku pun sudah berulang kali menegurku, tak henti-hentinya mereka memotivasiku untuk bangkit, bahkan kak Rehan sendiri sangat menyayangkan sikapku ini. Beberapa buku motivasi sudah ku baca, aku sudah berusaha untuk bangkit, tapi semuanya tetap terasa berat. Aku belum mampu untuk bangkit. Aku telah hancur. Benar-benar hancur.
April 2012
Entah angin apa yang menggerakkan kakiku ke tempat ini, tempat yang bagiku penuh kenangan, tempat dimana kak Rehan pertama kalinya melantunkan ayat-ayat suci itu di sampingku, tempat aku merayakan Ultah kak Rehan beberapa bulan lalu. Entahlah aku hanya ingin mengenang masa-masa indah itu. “Kak kalau ada waktu nyusul ya” iseng aja ku layangkan pesan singkat itu “Hari ini kakak sibuk dek, maaf ya…” huft… Seharian ku habiskan waktuku di tempat ini, di tempat duduk yang sama beberapa bulan lalu, kini kenangan manis itu tergambar jelas di benakku, masih sempat-sempatnya aku berharap ia akan datang menyusulku kesini, padahal ku tahu hal itu takkan pernah terjadi. Tak terasa air mata ini mulai membasahi pipiku.
Matahari mulai enggan menampakkan dirinya, langit tiba-tiba berubah menjadi gelap, awan hitam pun bermunculan seakan sudah siap mengguyur bumi, suara petir mulai menderu dari segala penjuru. Aku lelah, aku menyerah, kak Rehan takkan pernah datang menemuiku, semua itu hanya akan menjadi mimpi, aku meninggalkan tempat ini dengan membawa sejuta kenangan indah, juga sejuta kekecewaan, aku berjalan tanpa arah, tubuhku lunglai, pandanganku mulai kabur dan “Bruak…” semuanya gelap.
—
“Aku dimana?” mataku terbuka, ruangan serba putih, ku dengar semua orang mengucap syukur saat ku buka mata ini. “Kamu sudah bangun sayang” Suara lembut Bunda menyapa, matanya tampak sembab, “Aku dimana? Kenapa kalian semua ada disini” tanyaku “Kamu di rumah sakit sayang, tiga hari yang lalu kamu kecelakaan, dan mengalami koma” jawab Bunda sesenggukan.
48 jam lebih aku koma, dan ini pertama kalinya aku membuka mata, keluarga, sahabat, mereka semua ada disini untuk menungguku terbangun. Sungguh terharu, tapi aku tak melihatnya, kak Rehan, ia dimana? kenapa ia tak ada disini? Hati ini terus memanggilnya, walau mulut ini sudah tak sanggup untuk menyuarakan namanya.
“Ayah, Bunda, maafin Putri, selama ini Putri nggak bisa membuat kalian bangga” Ku genggam erat tangan mereka. “Sayang, kamu nggak usah mikir macam-macam dulu, yang terpenting sekarang adalah Putri harus sembuh” tangis Bundaku semakin menjadi. “Putri pengen tidur panjang Bunda”, itulah kata-kata terakhir yang sempat ku ucapkan, sebelum ayah menuntunku untuk melantunkan dua kalimat syahadat. Bahkan di detik-detik terakhir hidupku, kak Rehan tak pernah datang menemuiku.
“Putri, bangun sayang” teriak Bundaku, “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un” Banjir air matapun seketika menggenangi ruangan putih itu.
Tak ada do’a yang terindah yang ku lantunkan kecuali kebahagiaan mereka, orang-orang yang ku sayangi. Ku harap tak akan ada lagi perempuan bodoh seperti aku di dunia ini.The End
Cerpen Karangan: Khoiriyatul Mukarromah
Facebook: Putri Huanzhu
Alumni IAIN SUNAN AMPEL tahun 2012